Momentum lebaran, baik hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha merupakan saat-saat yang tepat untuk berkumpul bersama sanak saudara. Paling indah ketika berkumpul dikampung sendiri. Biasanya, beberapa hari sebelum lebaran, mereka yang merantau baik karena pekerjaan maupun karena melanjutkan pendidikan, melakukan tradisi mudik atau pulang kampung. Namun, ada juga yang tidak bisa mudik.
GUGUS SURYAMAN, KOLAKA
Selasa (7/8) sore, sejumlah anggota Pos Badan SAR Nasional (Basarnas) Kolaka berkumpul di halaman kantornya yang terletak di kawasan pantai Berty Kolaka. Korps penyelamat yang berkostum khas warna oranye itu tengah bersiap untuk berbuka puasa bersama.
Hari itu merupakan hari yang agak mengharukan bagi mereka. Sebab, Kepala Pos SAR Kolaka, Budi Raharjo, akan berpisah dengan anggotanya yang berjumlah 14 orang itu. Dia dipindahtugaskan ke kantor Basarnas Kendari. Lazimnya di kantor Basarnas, tiap beberapa periode harus rolling posisi.
Tampak diantara mereka sedang menyiapkan menu buka puasa, ada pula yang tengah bercanda. Semua tampak akrab satu sama lain. Seperti dilingkungan keluarga sendiri. Diantara mereka, ada yang sudah bertugas lama, ada pula yang masih baru. Namun semuanya membaur dalam satu tugas mulia. Yaitu Penyelamatan.
Beberapa diantara mereka, ada yang berasal dari luar pulau Sulawesi, ada pula yang dari Kolaka sendiri. Namun, saat hari raya, apalagi Idul Fitri, semua harus bersiaga di pos. Sebab, diharamkan bagi mereka untuk meninggalkan pos penjagaan. Sekalipun dalam setahun itu belum mengajukan cuti. "Kita tidak diperbolehkan untuk cuti atau izin pada hari-hari tertentu. Utamanya pada saat-saat berkumpulnya massa seperti hari raya," jelas Kepala Pos SAR Kolaka, Budi Raharjo.
Seperti lebaran tahun ini. Sama dengan lebaran tahun-tahun sebelumnya. Bagi anggota Basarnas, lebaran tidak ada bedanya. Tetap siaga 24 jam. Hanya yang berbeda, suasananya. Sangat terasa sedihnya.
Beberapa diantara anggota Pos SAR Kolaka, ada yang berasal dari Jawa, ada pula yang dari Pulau Sulawesi sendiri namun berbeda kota. Misalnya dari Makassar, Sulawesi Selatan. Akan tetapi, baik dari Jawa maupun Sulawesi, semua sama. Tidak boleh pulang kampung atau mudik. Harus berjaga di pos sesuai jadwal piket masing-masing.
Tahun lalu, dua hari sebelum hari raya, sebuah tragedi besar menggegerkan dunia transportasi Indonesia. Sebuah kapal Feri, KMP Windu Karsa, tenggelam di perairan Kolaka. Sehingga menewaskan puluhan penumpangnya yang hendak pulang kampung waktu itu. Tak ayal, musibah ini membuat hampir semua kalangan kerepotan. Hingga tim nasional pun turun tangan.
Yang paling kerepotan adalah tim SAR. Apalagi Pos SAR Kolaka. Anggotanya tidak ada yang duduk tenang. Bahkan, ada yang tidak bisa ikut sholat Id bersama warga lainnya. Sebab, harus melakukan evakuasi mayat korban tenggelam yang didapat.
Saat musibah tahun lalu itu, juga membawa kesedihan buat anggota SAR Kolaka. Utamanya mereka yang baru pertama kali bertugas dalam operasi. Bukan hanya karena musibah itu yang membuat hati trenyuh dan terharu. Tetapi juga karena tak dapat berkumpul bersama keluarga di kampung halaman. Tak bisa menikmati ketupat dan opor ayam buatan ibunda dirumah, juga tidak bisa sungkeman dan bersalaman dengan sanak keluarga di kampung.
Pipit misalnya. Pemuda yang beru bertugas tahun 2011 lalu ini, baru merasakan pertama kali berpisah dengan orang tuanya. Pria yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah ini, mengaku sangat sedih saat Idul Fitri tahun lalu. Dia yang biasanya berkumpul dengan keluarganya pada momen lebaran, kini harus berkutat dengan tugasnya sebagai anggota tim penyelamat. Dia hanya bisa bercengkerama dengan kawan senasibnya di pos jaga.
"Sedih mas. Tidak bisa pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga. Tapi mau diapa, sudah tugas seperti itu, yah kita harus jalani," ungkapnya.
Untuk mengobati kerinduannya diwaktu senggang, Pipit hanya bisa menghibur diri dengan teman-temannya. Sebagai hiburan, dia menikmati saat-saat berpatroli. Dengan begitu, pemandangan sekeliling yang dilihatnya dapat membuat hatinya sedikit ceria. Selain itu, untuk menghalau kegalauan hatinya, dia lebih memilih bermain dengan radio. Saling curhat atau berbagi informasi dengan anggota SAR lainnya lewat radio pemantau. Atau berkumpul dengan teman-temannya untuk berbagi canda.
Yang paling membuatnya sedih, adalah ketika usai sholat Id. Saat itu, biasanya para jamaah saling bersalaman dengan sanak keluarganya. Saling mengunjungi untuk sekedar saling berjabat tangan dan bermaaf-maafan. Ketika itulah dia merasa paling sedih. Teringat akan ayah, ibu, serta saudara-saudara di kampung halaman. "Biasanya kalau lihat orang saling bersalaman untuk bermaaf-maafan, saya langsung nangis. Sedih rasanya ingat keluarga di kampung,"katanya.
Lain lagi dengan Zulkifli. Pria asal Makassar ini sudah empat tahun bertugas di SAR. Selama itu pula dirinya tidak pernah berkumpul dengan keluarganya ketika lebaran. Yang paling membuatnya sedih ketika lebaran, adalah saat takbiran pertama kali dikumandangkan. Begitu mendengar orang takbiran di mesjid, hatinya menangis. Ingat kampung dan keluarga.
Untuk menghibur diri, Zul hanya bisa menutupi kesedihannya dengan berkumpul dengan anggota lainnya. Sambil bercanda, dia juga berusaha untuk tidak berlarut dalam kesedihannya. Hanya dengan berkumpul dan beraktivitaslah hatinya bisa tenang. Kalau ada teman yang datang membawakan masakan, entah itu opor ayam atau ketupat lebaran, kesedihan mereka bertambah. "Biasanya, kalau ada yang menyendiri atau tunduk-tunduk, dimaklum saja. Berarti dia lagi sedih atau ingat kampung dan keluarga," katanya.
Begitupun dengan pak Budi. Kepala Pos ini pun merasakan hal yang sama dengan anggota lainnya. Meskipun sudah bertahun-tahun terbiasa dengan berpisah dari keluarga, dia mengaku tetap merasa sedih saat lebaran. Biasanya, dia menutupi kesedihannya dengan memotivasi anggota lain. Atau membuat kegiatan yang melibatkan rekan lainnya seperti simulasi.
Baginya, juga menjadi kebanggaan kala menjalankan tugasnya di Pos SAR. Sebab kata dia, hal yang paling sulit dilakukan adalah memfasilitasi untuk membuat orang lain senang. Dan itu menjadi kebanggan tersendiri bagi dia dan anggotanya. Karenanya, bekerja tanpa pamrih menjadi prinsip yang paling mereka pegang teguh.
Dia kerap merasa sedih saat melihat orang lain bersalaman sambil berpelukan untuk saling memaafkan saat lebaran. Tak jarang dia menitikkan air mata kala menyaksikan momen-momen seperti itu. Teringat akan keluarga dan kampung halaman yang jauh disana. Sebagai perantau, dirinya hanya bisa pasrah dengan kondisi itu. Dia pun menghibur diri dengan menyadari tugas yang diembannya yang begitu mulia. Sebab mau cuti pun tidak bisa. Dalam setahun, mereka hanya dibolehkan maksimal selama 12 hari. Sedangkan izin paling lama 3 hari. Itupun harus diluar H-7 dan H+7 dari hari raya.
Karenanya, untuk bersilaturahim dengan sanak keluarga di kampung halaman, mereka hanya bisa memanfaatkan fasilitas handphone. Sungkeman, saling bermaafan, menyampaikan salam, hanya bisa dilakukan lewat telepon seluler. "Karena tidak bisa salaman langsung, yah kita hanya bisa lewat telepon saja," canda Pipit.(**)
hidup orange...!!!!
ReplyDelete