95 99 1798

Tentang Gabah dan Beras

16 November 2014
Kendari, sore di meja makan

Biar kuceritakan padamu tentang Padi. Beras dan Gabah.

Dua insan yang sama. Tapi sesungguhnya beda kasta, strata dan harkat. Terlahir dari ruh yang sama, benih yang sama. Padi.

Tapi kau tak bisa menanak Gabah menjadi nasi. Apatah lagi menyatukannya. Akan menggerutu pelanggan nasi kuning. Juga tak bisa menanam beras menjadi beras pula.

Gabah tetaplah Gabah, dan Beras adalah Beras.

Lalu Beras ke kastanya. Menjadi bernilai, ber_harga, dan ber_nama. Ia dielukan. Ia dibanggakan. Ia diprestisekan. Ia milik para bangsawan.

Sedangkan Gabah, ia kembali ke tanah. Menyatu dengan cacing, siput dan anai-anai. Menyemai, berlumur pupuk, menjadi benih. Gabah kembali untuk menjadi Beras. Tapi ia bukan Beras.

Gabah harus menyiang tubuhnya. Ia mesti menguras zatnya. Lalu melebur jadi tanah agar tumbuh tunas-tunas bakal Beras.

Kamu tahu? Sesungguhnya Gabah ingin menjelma Beras. Biar setara maksudnya.

Tapi saat itu terjadi, ia bukan lagi Gabah. Ia sudah menjadi Beras. Bernilai, ber_harga, ber_nama, dielukan, dibanggakan, dise_strata_kan.

Tapi ia sudah lebur. Tiada lagi kebanggaan padanya. Pak tani hanya bisa meratap pada bulan di tengah sawah. Ilmuwan sudah mati.

Gabah Beras memberontak. Ia teriak sekuatnya. Ia mengamuk. Ia meronta. Ia menangis, tertunduk, dan lesu ingin pulang.

Saat terbangun, ia masih menjadi Gabah. Menyakiti dirinya, melebur, menguras keringatnya, zatnya, ruhnya, menjejal batinnya, mengoyak raganya, tapi tidak jiwanya.

Karena ia bangga, karena ia adalah Gabah. Dan karena ia rela, agar Beras tetaplah Beras. Dan dia, adalah aku.

*sore yang galau tentang aku dan beras. Ingin mense_strata_kan diri, tapi jiwaku ada ditanah.
GSM

0 Response to "Tentang Gabah dan Beras"

Post a Comment

'));