Saya lupa, tanggal berapa kami jadian. Dan saya lupa, apa yang saya ucapkan kala itu. Yang kuingat, saat itu aku jenuh dengan orang yang menyayangiku.
Iya. Saya menghianatinya. Harus saya akui, bahwa cinta yang ditanamkannya kala itu, tak cukup membuatku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Maaf, Rahmah. Hingga ketika kutemukan seseorang yang kuanggap sebagai wanita yang kuinginkan, aku pun menjatuhkan hatiku padanya.
Azzura. Namanya Nurul Qalbi Azzura. Oleh orang tua yang mempercayai pengaruh nama, ia pun diganti dengan nama Khartyna Baedawi Rasyik. Katanya itu akan membuatnya hidup lebih lama. Entah kepercayaan dari nenek moyang yang mana itu. Tapi yang pasti, dia lebih senang dengan panggilan Azzura. Aku mengenalnya dengan Azzura Edelweiss, nama Facebooknya.
Jujur, tak sedikitpun yang kuketahui tentang dirinya. Latar belakangnya, keluarganya, bahkan muka aslinya ketika kami menyatakan berkomitmen untuk bersama, tak kukenal. Hanya suara lembut dan mesranya yang aku miliki. Selebihnya, aku jatuh cinta.
Ketika pertama berjumpa dirinya, memang tak seperti bayanganku. Ia datang kepadaku, ia baru melihatku dan aku juga baru memandangnya baik. Yang kukenali hanya suara lembutnya itu.
Aku tahu, dia hanya iseng datang kepadaku. Aku tahu, dia banyak menipuku. Aku juga tahu, dia sangat jarang jujur dan terbuka padaku. Tapi aku juga terima.
Dia mencintaiku, mungkin pernah. Tapi cinta itu tak sebanding dengan keinginannya. Aku maklum, karena strata yang disandangnya tak sebanding denganku.
Akupun mencintainya. Meski harus kuakui, bahwa aku tertekan olehnya. Lahir dan bathin. Dia mengalahkanku. Aku tak berdaya. Jujur, aku bertekuk lutut dibuatnya. Sepatah katapun, aku manut. Sedangkan aku? Tak seperti yang kau kenal dahulu, kawan. Aku kehilangan separuhku.
Harus pula kuakui, bahwa terkadang aku merelakan diri melepasnya ketika puncak kegalauanku menyeruak. Aku bahkan berupaya untuk tahan diri, agar tak terpengaruh oleh kebutaan hatiku. Tapi itulah mungkin komitmen lelaki. Sekuat apapun aku berupaya merelakan, segila itu jua aku mempertahankan. Meski kutahu bahwa aku akan merugi kesekian kalinya, tetap juga kubesar-besarkan hatiku.
Tapi itulah santet. Mungkin aku disantet oleh jiwaku sendiri. Aku tak tahu, harus bertahan atau merelakan. Yang kutahu, mati-matian aku memperjuangkan kebersamaan kami. Sampai kapanpun.
Sebab aku mengerti. Bahwa jika hari ini aku berusaha menegarkan diri melepasnya, aku akan kembali merana untuk kesekian kalinya. Bahwa wanita, siapapun dia, akan sama saja. Akan tetap butuh kebijaksanaan lelaki. Mungkin itulah kegagalanku mengikat hubungan di masa silam. Aku tak mampu bertahan dengan keegoisan dan dominasi sang hawa.
Tapi aku juga tak bisa terus-terusan seperti ini. Menunduk, takluk dan terkapar. Berapa kali aku harus manut pada permintaannya yang seringkali tak pakai perhitungan logika. Berapa kali aku harus bersujud mencium kaki dan mengemis-ngemis padanya. Berapa lama aku harus mengabaikan orang-orang terdekatku yang seharusnya menjadi tanggungjawabku, bahkan untuk kedua orang tuaku. Karenanya.
Memang benar, apa yang dikatakan mereka. Cinta itu adalah komitmen. Butuh ketegaran, ketabahan, kebijaksanaan, kesetiaan, penerimaan dan pengertian. Aku sering mengintrospeksi yang salah dariku. Sering memaki diriku sendiri. Sering menyumpahi kebodohanku. Tapi selalu saja, aku masih salah, bodoh dan mudah diperdungui.
Aku muak dengan ketaklukanku. Menjijikan rasanya. Seorang lelaki tegar, harus bertekuk lutut pada wanita yang tak mau mendengar nasehat. Bahkan mengabaikan dosa dan kekhilafan. Itukah yang kucari? Ataukah aku sudah menyerah?
"..wanita diciptakan dari tulang rusuk lelaki yang paling bengkok. Jika engkau meluruskannya satu kali, akan patah. Tapi jika kau biarkan, akan tetap bengkok seperti adanya. Maka tak heran, jika penghuni neraka mayoritas para wanita. Berbuatlah baik kepada wanita dengan cara yang baik pula". Setidaknya begitulah penjelasan para cendekia tentang hadits Rasulullah dan titah Al Quran.
Inilah pedomanku. Bahwa apapun yang terjadi, bergantung pada perilaku dan tindakan dariku. Yang menentukan masa depanku, kelanggenganku, keharmonisanku, ketenangan dan kedamaianku, adalah aku. Kesuksesan seorang lelaki, adalah mampu membangun sebuah bahtera rumah tangga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebab siapapun pasanganmu, akan sama perlakuannya. Hanya saja, bisakah? Bisa diatur? Bisa tak, mengatur? Punya dasar? Bisa berbuat? Mampu tegas dan tegar? Siap bersabar? Tabahkah engkau? Dia?. Sudahlah, Wallahu 'Alam..
Kendari, 29 Oktober 2014
0 Response to "Dia, Dia, Dia"
Post a Comment