Mengunjungi
Bak Belanda Peninggalan Zaman Penjajahan
SITUS
SEJARAH TAK TERURUS, DEBIT AIRNYA MENURUN KARENA GUNDULNYA HUTAN
Banyak
situs-situs sejarah peninggalan zaman penjajahan di Kolaka. Mulai dari tugu
pertama, gua persembunyian, hingga bak penampungan air zaman Belanda. Namun
seolah tak berarti, peninggalan sejarah tersebut diabaikan begitu saja. Padahal
keberadaannya dapat menambah wawasan para pemuda untuk kembali merefleksi
semangat perjuangan para pendahulu.
Gugus
Suryaman, Kolaka
"Barang siapa
yang melupakan sejarah masa lalunya, maka ia akan sulit menemukan masa
depannya"
Menyusuri
jejak-jejak peninggalan sejarah di Kabupaten Kolaka susah-susah gampang.
Susahnya, tidak ada referensi dari instansi atau pihak terkait yang memberikan
petunjuk jelas pada masyarkat mengenai keberadaannya. Apalagi kondisinya yang
bahkan untuk diperhatikan tidak sama sekali. Gampangnya, sebab masih ada juga
warga atau tepatnya orang tua yang masih mengenali situs bersejarah tersebut.
Sehingga jika kita bertanya pada warga lokal yang asli lahir dan besar di
Kolaka, bahkan bercucu cicit di tanah mekongga ini, kita masih bisa diberi
petunjuk.
Salah
satunya Bak Belanda. Tempat tersebut merupakan tempat penampungan air yang
diklaim sebagai bak penampungan pertama di Kolaka, yang dibangun pada masa
penjajahan Belanda.
Letaknya di
Kelurahan Watuliandu Kecamatan Kolaka. Jaraknya dari jalan poros sekitar dua
kilometer. Atau dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama satu jam perjalanan
dari SD Negeri 2 Watuliandu.
Minggu (30/10/2012)
pagi sekitar pukul 9.30 Wita, saya bersama tiga orang anggota Mapala USN, Thuo,
Anti dan Serni bertandang ke tempat tersebut. Tujuannya hanya satu. Ingin
melihat tempat bersejarah itu. Konon kabarnya, tempat itu merupakan tempat
penampungan air pertama di Kolaka untuk dialirkan ke rumah-rumah warga.
Setelah
menyiapkan perbekalan seperlunya seperti kue dan minuman ringan, kami berjalan
kaki sambil bercanda. Suasana lingkungan yang kami lewati begitu alami. Betapa
tidak, dibagian kiri kanan jalan usai melewati perumahan warga, kami jumpai
pohon-pohon sagu yang masih rimbun. Nampak di salah satu tanah lapang tempat
pembuatan sagu, yang oleh warga lokal dijadikan makanan khas bernama Sinonggi
atau Kapurung, tampak sudah lama tak lagi digunakan. Mungkin karena pohon sagu
yang ada masih belum layak dikeruk serbuknya.
Jalan menuju
Bak Belanda itu tidak terlalu susah. Kita hanya perlu menyusuri jalan setapak
yang terlihat hanya sesekali dilalui. Serta menyusuri kali kecil yang airnya
begitu dingin dan segar. Ditambah udara pagi membuat dada terasa plong.
Bagaimana tidak, tiap harinya udara kota serta polusi tambang membuat jalur
pernapasan seakan sesak. Tersumbat kotoran bagai saringan udara knalpot motor.
Di jalan menuju Bak Belanda ini, sungguh luar biasa. Setelah melewati pepohonan
sagu, teduhan kayu besar khas hutan tropis menaungi perjalanan kami. Hm, serasa
ingin kembali mendaki gunung.
Akan tetapi,
perasaan kesal saya pun muncul. Tatkala ditengah jalan kami temui beragam
sampah plastik yang masih baru bertebaran. Hampir disepanjang jalan sampah itu
kami temui. Ada gelas minuman kemasan, bungkusan permen, kue dan lainnya. Itu
membuat kami yang notabene pecinta dan pelesatari alam merasa kesal. Parahnya,
sampah itu dibuang begitu saja seakan tanpa dosa di jalur aliran air kali
kecil. Bayangkan saja jika sampah-sampah itu kian banyak dan menumpuk, maka
tidak akan ada lagi sisa sisa peninggalan Bak Belanda penampungan air itu.
Sesampainya
di Bak Belanda, kekagetan dan kekesalan saya bertambah. Dalam benak saya ketika
masih diperjalanan, disekitaran Bak itu akan masih ditemui pepohonan besar dan
terlindung. Dengan keteduhan khas hutan hujan tropis. Namun, sungguh
mengecewakan. Ternyata disana adalah kebun. Pepohonan besarnya sudah tumbang.
Tertinggal akar dan sisa penebangan. Bahkan disana berdiri pula pondok milik
masyarakat. Pantas saja debit air kali yang kami lewati sangat kecil. Rupanya
ini penyebabnya. Pembuakaan lahan. Atau tepatnya penggundulan hutan.
Saat melihat
Bak Belanda-nya, kekecewaan kian menusuk ulu hati. Katanya situs sejarah, kok
begini? Tidak terawat sama sekali. Bahkan terlihat ibarat bangunan tua yang
disengetakan tanahnya oleh masyarakat. Ditinggal hingga hilang. Inilah kita,
pikirku. Selalu melupakan masa lalu begitu saja. Padahal, banyak pelajaran yang
bisa kita petik dari masa lalu itu.
Bangunanya
tidak terlalu besar. Sekitar sepuluh kali lima meter. Layaknya penampungan dan
penyaringan air pada umumnya. Terdapat saringan dengan pipa. Namun tidak
terlihat lagi ada pipa-pipa besar disana. Yang mana pipa-pipa itu biasa
digunakan sebagai saluran penyambung dari Bak ke rumah-rumah warga.
Menurut
salah satu warga yang mengetahui sedikit tentang sejarah Bak Belanda itu,
Rosdiana, tempat tersebut dulunya menjadi penopang kebutuhan air warga Kolaka.
Dibangun pada sekitaran tahun 1928. Bertepatan dengan tahun dicetuskannya
Sumpah Pemuda. “Tanta juga belum lahir pada saat itu,” celotehnya membuka
penuturannya pada kami saat sudah di perkampungan kembali. Kami sengaja menemui
dia sebab, rumah tempat tinggalnya merupakan rumah terakhir sebelum menempuh
perjalanan ke Bak Belanda berada. Dia juga mengaku sedikit mengetahui
sejarahnya sebab, dia sendiri lahir dan besar ditempat itu.
“Mungkin
masyarakat disini juga yang bangun itu Bak Belanda. Hanya saja pada saat itu
kita masih perang dengan Belanda,” tebak Rosdiana yang oleh kami dipanggil
Tanta Ros.
Dia
menuturkan, pada sekitaran tahun 1982, Bak tersebut masih terawat. Debit air
yang dihasilkan pun masih besar. Bahkan pipa-pipanya masih utuh. Dia sendiri
sering bermain ke tempat tersebut. Pada tahun itulah menurutnya masa-masa
terakhir bak itu terawat. Setelah itu tidak lagi.
Kemudian
satu per satu perlengkapannya hilang. Mulai dari pipa, pemancar, hilang semua.
“Waktu itu sedang laku-lakunya pipa, pipanya mi itu yang diambil orang,” tutur
Rosdiana.
Dia juga
menuturkan, sejak masyarakat mulai membuka lahan di sekitaran Bak itu, debit
airnya juga menurun. Penggundulan hutan di tempat itu menyebabkan Bak Belanda
tidak difungsikan lagi seperti pada tahun 1982 dan sebelumnya. Mata airnya pun
perlahan mengecil. Mata airnya ada dua. Semuanya mengecil. Sehingga air di kali
yang kami lalui saat berangkat itulah yang kini tersisa. Tinggal sebagai
pencuci kaki.(**)
![]() |
We are an independent escorts agency providing Call Girls job in Delhi. Call Girls job in hotels, We mainly targeted to the clients satisfaction and fully co-operative service providin you Escorts Girl Job in Delhi. We never disclose any identity to any third person. We also provides accommodations,we are looking an independent girl who can work with independently as a Female Escorts Job in Delhi.
ReplyDeleteThe recruitment will be on face to face interview and we need some pics for finalize the girls. The girls should be good looking to do Call Girls job in Delhi, good body structure and can work with us independently. Any Girls from any city can join us for Escorts Girl Job in Delhi and become a Call girls. We are hiring Female Escorts Job in Delhi also.
If you're considering my lifestyle, education, and body postures, you'll be happy to know that I have just finished my degree. The ease of speaking, the stylish attire, and a fun enthusiastic attitude makes me stand out from other girls.
ReplyDeletewhat's app Dehradun girls number
what's app dehradun girls phone
phone call Nainital girls
hot call Haldwani girls number.
call Ramnagar girls phone number
call Rudrapur models phone number
call Rishikesh models phone number
If you're seeking endless pleasure and entertainment, our website is the most exciting option as well as additional seasonal offers. To make the lives of our customers more exciting, our models surprises you at times of service.
ReplyDeletewhat's app Udaipur girls number
phone call udaipur girls
hot call udaipur girls number.
call udaipur girls phone number
call udaipur girls phone number