95 99 1798

catatan wisata 2

Mengunjungi Bak Belanda Peninggalan Zaman Penjajahan
SITUS SEJARAH TAK TERURUS, DEBIT AIRNYA MENURUN KARENA GUNDULNYA HUTAN

Banyak situs-situs sejarah peninggalan zaman penjajahan di Kolaka. Mulai dari tugu pertama, gua persembunyian, hingga bak penampungan air zaman Belanda. Namun seolah tak berarti, peninggalan sejarah tersebut diabaikan begitu saja. Padahal keberadaannya dapat menambah wawasan para pemuda untuk kembali merefleksi semangat perjuangan para pendahulu.
Gugus Suryaman, Kolaka

 "Barang siapa yang melupakan sejarah masa lalunya, maka ia akan sulit menemukan masa depannya"

Menyusuri jejak-jejak peninggalan sejarah di Kabupaten Kolaka susah-susah gampang. Susahnya, tidak ada referensi dari instansi atau pihak terkait yang memberikan petunjuk jelas pada masyarkat mengenai keberadaannya. Apalagi kondisinya yang bahkan untuk diperhatikan tidak sama sekali. Gampangnya, sebab masih ada juga warga atau tepatnya orang tua yang masih mengenali situs bersejarah tersebut. Sehingga jika kita bertanya pada warga lokal yang asli lahir dan besar di Kolaka, bahkan bercucu cicit di tanah mekongga ini, kita masih bisa diberi petunjuk.

Salah satunya Bak Belanda. Tempat tersebut merupakan tempat penampungan air yang diklaim sebagai bak penampungan pertama di Kolaka, yang dibangun pada masa penjajahan Belanda.

Letaknya di Kelurahan Watuliandu Kecamatan Kolaka. Jaraknya dari jalan poros sekitar dua kilometer. Atau dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama satu jam perjalanan dari SD Negeri 2 Watuliandu.

Minggu (30/10/2012) pagi sekitar pukul 9.30 Wita, saya bersama tiga orang anggota Mapala USN, Thuo, Anti dan Serni bertandang ke tempat tersebut. Tujuannya hanya satu. Ingin melihat tempat bersejarah itu. Konon kabarnya, tempat itu merupakan tempat penampungan air pertama di Kolaka untuk dialirkan ke rumah-rumah warga.

Setelah menyiapkan perbekalan seperlunya seperti kue dan minuman ringan, kami berjalan kaki sambil bercanda. Suasana lingkungan yang kami lewati begitu alami. Betapa tidak, dibagian kiri kanan jalan usai melewati perumahan warga, kami jumpai pohon-pohon sagu yang masih rimbun. Nampak di salah satu tanah lapang tempat pembuatan sagu, yang oleh warga lokal dijadikan makanan khas bernama Sinonggi atau Kapurung, tampak sudah lama tak lagi digunakan. Mungkin karena pohon sagu yang ada masih belum layak dikeruk serbuknya.

Jalan menuju Bak Belanda itu tidak terlalu susah. Kita hanya perlu menyusuri jalan setapak yang terlihat hanya sesekali dilalui. Serta menyusuri kali kecil yang airnya begitu dingin dan segar. Ditambah udara pagi membuat dada terasa plong. Bagaimana tidak, tiap harinya udara kota serta polusi tambang membuat jalur pernapasan seakan sesak. Tersumbat kotoran bagai saringan udara knalpot motor. Di jalan menuju Bak Belanda ini, sungguh luar biasa. Setelah melewati pepohonan sagu, teduhan kayu besar khas hutan tropis menaungi perjalanan kami. Hm, serasa ingin kembali mendaki gunung.

Akan tetapi, perasaan kesal saya pun muncul. Tatkala ditengah jalan kami temui beragam sampah plastik yang masih baru bertebaran. Hampir disepanjang jalan sampah itu kami temui. Ada gelas minuman kemasan, bungkusan permen, kue dan lainnya. Itu membuat kami yang notabene pecinta dan pelesatari alam merasa kesal. Parahnya, sampah itu dibuang begitu saja seakan tanpa dosa di jalur aliran air kali kecil. Bayangkan saja jika sampah-sampah itu kian banyak dan menumpuk, maka tidak akan ada lagi sisa sisa peninggalan Bak Belanda penampungan air itu.

Sesampainya di Bak Belanda, kekagetan dan kekesalan saya bertambah. Dalam benak saya ketika masih diperjalanan, disekitaran Bak itu akan masih ditemui pepohonan besar dan terlindung. Dengan keteduhan khas hutan hujan tropis. Namun, sungguh mengecewakan. Ternyata disana adalah kebun. Pepohonan besarnya sudah tumbang. Tertinggal akar dan sisa penebangan. Bahkan disana berdiri pula pondok milik masyarakat. Pantas saja debit air kali yang kami lewati sangat kecil. Rupanya ini penyebabnya. Pembuakaan lahan. Atau tepatnya penggundulan hutan.

Saat melihat Bak Belanda-nya, kekecewaan kian menusuk ulu hati. Katanya situs sejarah, kok begini? Tidak terawat sama sekali. Bahkan terlihat ibarat bangunan tua yang disengetakan tanahnya oleh masyarakat. Ditinggal hingga hilang. Inilah kita, pikirku. Selalu melupakan masa lalu begitu saja. Padahal, banyak pelajaran yang bisa kita petik dari masa lalu itu.

Bangunanya tidak terlalu besar. Sekitar sepuluh kali lima meter. Layaknya penampungan dan penyaringan air pada umumnya. Terdapat saringan dengan pipa. Namun tidak terlihat lagi ada pipa-pipa besar disana. Yang mana pipa-pipa itu biasa digunakan sebagai saluran penyambung dari Bak ke rumah-rumah warga.

Menurut salah satu warga yang mengetahui sedikit tentang sejarah Bak Belanda itu, Rosdiana, tempat tersebut dulunya menjadi penopang kebutuhan air warga Kolaka. Dibangun pada sekitaran tahun 1928. Bertepatan dengan tahun dicetuskannya Sumpah Pemuda. “Tanta juga belum lahir pada saat itu,” celotehnya membuka penuturannya pada kami saat sudah di perkampungan kembali. Kami sengaja menemui dia sebab, rumah tempat tinggalnya merupakan rumah terakhir sebelum menempuh perjalanan ke Bak Belanda berada. Dia juga mengaku sedikit mengetahui sejarahnya sebab, dia sendiri lahir dan besar ditempat itu.

“Mungkin masyarakat disini juga yang bangun itu Bak Belanda. Hanya saja pada saat itu kita masih perang dengan Belanda,” tebak Rosdiana yang oleh kami dipanggil Tanta Ros.

Dia menuturkan, pada sekitaran tahun 1982, Bak tersebut masih terawat. Debit air yang dihasilkan pun masih besar. Bahkan pipa-pipanya masih utuh. Dia sendiri sering bermain ke tempat tersebut. Pada tahun itulah menurutnya masa-masa terakhir bak itu terawat. Setelah itu tidak lagi.

Kemudian satu per satu perlengkapannya hilang. Mulai dari pipa, pemancar, hilang semua. “Waktu itu sedang laku-lakunya pipa, pipanya mi itu yang diambil orang,” tutur Rosdiana.

Dia juga menuturkan, sejak masyarakat mulai membuka lahan di sekitaran Bak itu, debit airnya juga menurun. Penggundulan hutan di tempat itu menyebabkan Bak Belanda tidak difungsikan lagi seperti pada tahun 1982 dan sebelumnya. Mata airnya pun perlahan mengecil. Mata airnya ada dua. Semuanya mengecil. Sehingga air di kali yang kami lalui saat berangkat itulah yang kini tersisa. Tinggal sebagai pencuci kaki.(**)



3 Responses to "catatan wisata 2"

  1. We are an independent escorts agency providing Call Girls job in Delhi. Call Girls job in hotels, We mainly targeted to the clients satisfaction and fully co-operative service providin you Escorts Girl Job in Delhi. We never disclose any identity to any third person. We also provides accommodations,we are looking an independent girl who can work with independently as a Female Escorts Job in Delhi.

    The recruitment will be on face to face interview and we need some pics for finalize the girls. The girls should be good looking to do Call Girls job in Delhi, good body structure and can work with us independently. Any Girls from any city can join us for Escorts Girl Job in Delhi and become a Call girls. We are hiring Female Escorts Job in Delhi also.

    ReplyDelete
  2. If you're considering my lifestyle, education, and body postures, you'll be happy to know that I have just finished my degree. The ease of speaking, the stylish attire, and a fun enthusiastic attitude makes me stand out from other girls.
    what's app Dehradun girls number
    what's app dehradun girls phone
    phone call Nainital girls
    hot call Haldwani girls number.
    call Ramnagar girls phone number
    call Rudrapur models phone number
    call Rishikesh models phone number

    ReplyDelete
  3. If you're seeking endless pleasure and entertainment, our website is the most exciting option as well as additional seasonal offers. To make the lives of our customers more exciting, our models surprises you at times of service.
    what's app Udaipur girls number
    phone call udaipur girls
    hot call udaipur girls number.
    call udaipur girls phone number
    call udaipur girls phone number

    ReplyDelete

'));