95 99 1798

Saya Merasa Bersalah Tidak Meliputnya

Foto: Gugus Suryaman
Lelaki itu tingginya tidak lebih dari 150 centimeter. Berjalan membungkuk, dengan raut muka yang lelah. Kutaksir umurnya sekitar 60an tahun. Rambutnya sudah memutih, kulit keriput, agak hitam dan renta. Ah sialan, saya  lupa tanyakan namanya. Kesalahan pertama.

Seperti biasa, tiap Jumat saya melaksanakan ibadah di masjid raya Al Kautsar Kendari. Seperti Jumat 23 Januari 2015, hari ini. Alasannya, yah berharap ibadah dengan pahala yang lebih. Semakin jauh kan semakin berlipat amalnya, hehe. Sebenarnya alasan utama karena suasana di masjid itu yang adem, tenang dan khusyuk. Apalagi alunan suara imam membuat ibadah semakin tenang.

Sudah terbiasa juga, tiap Jumat banyak pengemis dan pedagang aneka jualan di pelataran masjid ini. Bahkan banyak distributor produk menawarkan jualan dengan harga promo, yang tentu saja lebih murah dari supermarket, pasar ataupun warung. Termasuk memberikan seduhan kopi gratis bagi jamaah sholat Jumat usai melaksanakan ibadah.

Yang membuatku merasa 'ngeh' di masjid ini, deretan pengemis di tangga halaman hingga ke tempat wudhu. Bukan apanya, tampak dari penampilan beberapa pengemis, tidak pantas untuk duduk di aspal panas sambil menengadahkan tangan. Mereka masih sanggup bekerja. Bukan sombong, tapi lihatlah tubuh ibu-ibu pengemis itu. Tampak sehat wal afiat. Anehnya, anak kecil yang masih menetek juga dia gendong2 di bawah terik matahari. Perikamemanusiaannya dimana?. Maksudnya mungkin berharap jamaah kasian dengan kondisi itu, tapi lihatlah sendiri.

Sebenarnya yang membuat saya trauma adalah tayangan di berita-berita televisi atau sajian di koran-koran dan media online. "Pengemis Ketahuan Berpura-pura saat Dirazia Satpol PP", "Usai Mengemis Pulang Naik Mercy", "Pengemis Ini Bangun Rumah Mewah dari Hasil Meminta-minta", dan lain lain. Ditambah lagi fatwa MUI memberikan uang ke pengemis dilarang. Itu.

Kali ini berbeda. Sudah dua atau tiga Jumat, tak kudapati jejeran pengemis yang menyodorkan mangkuk atau kardus kepada jamaah masjid Al Kautsar. Mungkin pemerintah setempat sudah menertibkannya. Hari ini, ada seorang kakek tua menengadahkan kardus kecil kepada pengunjung yang berbelanja ataupun sekedar melihat-lihat di pelataran masjid. Seperti biasa, saya pun cuek.

Lantas saya bersama dua temanku, Umar dan Adi, duduk diujung tangga paling atas disamping pak tua itu. Kami bercanda mengomentari para pedagang di bawah sana. Mulai dari penjual lem 'penipu' yang bisa ngelem batu, pemain 'sirkus' ular-buaya murahan yang tumben tak hadir hari ini, penjual burung Gagak mati, tukang obat herbal yang tak ikut sholat Jumat, penjual racun tikus, sampai sang idola pemberi kopi gratis yang juga absen di keramaian. Dengan santai kami bergosip tanpa memperdulikan lelaki tua itu. Kami tak memperhatikannya sampai dia menegur rekan-rekan saya untuk agak bergeser agar orang-orang melewatinya dan memperhatikan dirinya.

Sekilas saya yang duduk paling ujung, jauh dari sang kakek, menoleh kepadanya. Saya melihat kardus kecil yang dipegangnya, di bagian depan tertulis "Tolong bantu saya untuk biaya pengobatan", ditulis agak tak beraturan dengan spidol hitam.

Saya bertanya pada Umar yang duduk paling dekat dengan kakek itu untuk memperjelas isi tulisan tersebut. Saya juga menyuruhnya untuk bertanya pada sang kakek, "untuk biaya pengobatan apa, dia sakit apa?". Tapi masih saja dengan sikap cuek.

Si kakek menjawab, "Usus Turun". Maksudnya dia terkena penyakit usus turun atau dalam istilah medisnya, Hernia.

Saya pun melanjutkan, kenapa tidak melapor ke kantor kelurahan atau dinas sosial atau kesehatan untuk meminta bantuan BPJS atau jaminan kesehatan? Bahkan teman saya menyebut Kartu Indonesia Sehat (KIS) program presiden Jokowi-JK, yang saya prediksi tidak dipahami oleh sang kakek. Terlihat dari kerutan keningnya saat itu. Dia hanya menjawab sambil tertawa. "Kelurahan cukimai, tai kucing saja didapat," makinya. Kami pun ikut tersenyum.

Saya berpikir, orang ini kesal karena diabaikan oleh pemerintah. Atau bisa jadi dia tak diakui oleh pemerintah kota sebagai warga negara karena status kependudukannya yang mungkin tidak jelas. Mungkin juga dia dianggap sebagai pengemis biasa yang akan menipu masyarakat lainnya.

Karenanya saya pun menanyakan kartu identitasnya. Dia berdiri perlahan dan mengaku sudah tidak tahu lagi dimana keberadaan KTPnya. Kepada kami dia mengaku tinggal di Mandonga, sudah menjadi warga setempat sejak berpuluh tahun.

Dia lantas berbalik menanyakan letak kantor Dinas Sosial pada kami. Umar menjawab, "Datang saja di kantor walikota dan bertanya disana. Kalau hari Sabtu dan Minggu kantor itu tutup,". Lalu si kakek mengaku akan kesana pada hari Senin nanti.

Tak lama kemudian, dia mendatangi kami lalu menurunkan sedikit celananya bagian depan. Sesaat kami khawatir memperlihatkan 'anu'nya di depan orang banyak. Tapi rupanya dia cuma menunjukkan daging menonjol disebelah kanan kelaminnya. Itulah yang membuatnya mengemis. Usus Turun.

Sang kakek lalu meninggalkan kami setelah berpamitan, sambil menenteng tas kumalnya di tangan dan meninggalkan kardus yang tadinya jadi alat penampungan recehan. "Mari nak, terima kasih," katanya.

Kami hanya terpaku. Setelah menjauh, kami baru sadar bahwa baju putih yang dikenakannya bergambar Jokowi-JK di bagian belakang. Tampak pak Jokowi dan Jusuf Kalla tertawa memperlihatkan giginya, seolah menertawakan nasib warga negaranya. Sementara sang kakek makin menghilang dikerumunan orang entah kemana.

Di perjalanan pulang, saya teringat pada si kakek berbaju kampanye itu. Akh, sialan. Kenapa tidak kuliput si kakek tadi. Rasa muakku kepada berita yang disajikan media lokal, harusnya terbayar dengan memberitakan tentang si kakek. Memang saya hanya wartawan biasa. Tapi saya muak dengan berita, "Gubernur Meraih Penghargaan Anu", "Walikota Berhasil Membuat Anu", "Bupati Menyelenggarakan Anu", "DPR Berkunjung ke Situ", "Dinas Itu Mencapai Target Tahunan". Atau berita "Menurut si anu..", "Katanya si ini..", dan sebagainya. Sementara di luar sana, realita sesungguhnya MIRIS.!!

Bersamaan dengan itu, "Wakil Ketua KPK Dilaporkan Kapolri ke Kejaksaan Agung"
Wallahu'alam..
#GSM

0 Response to "Saya Merasa Bersalah Tidak Meliputnya"

Post a Comment

'));